PENTAS.TV – BANDUNG, Setiap korporasi, tidak terkecuali yang berbendera Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengalami pasang surut dan periode unik.
Seperti yang dialami korporasi perbankan BUMN, PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero) Tbk.
Informasinya, perbankan berkode emiten BBRI ini mengalami performa dan kinerja unik. Pasalnya, hingga triwulan perdana 2025, perolehan laba perbankan yang tergabung dalam Himpunan Bank’ Negara (Himbara) tersebut membukukan perolehan laba bersih terkonsolidasi yang lebih kecil 13,92 persen daripada pencapaian periode sama tahun sebelumnya, yakni menjadi Rp13,67 triliun per kuartal I/2025.
Selain itu, berdasarkan pelaporan keuangannya, Interest Income atau pendapatan bunganya juga terkontraksi 1,51 persen secara tahunan atau posisinya menjadi Rp49,83 triliun.
Uniknya, hingga tiga bulan awal 2025, PT BRI Tbk (Persero) menyalurkan kredit atau pembiayaan yang gacor. Total kredit terkonsolidasi hingga Maret 2025, berada pada posisi Rp1.314,59 triliun.
Nominal penyaluran kredit itu lebih banyak 1,25 persen daripada realisasi Maret 2024, yang nilainya Rp1.126,02 triliun.
Moncernya kucuran kredit terkonsolidasi itu diimbangi oleh posisi rasio Non-Performing Loan (NPL) Gross yang berkurang 13 basis point atau menjadi 3,14 persen.
Keunikan lainnya, PT BRI Tbk (Persero) juga mengelola Dana Pihak Ketiga (DPK), yang hingga triwulan I 2025! bertambah 4,11 persen. Hingga akhir Maret 2025, dana DPK yang dikelola PT BRI Tbk (Persero) bernominal Rp1.421,6 triliun.
Begitu juga dengan aset yang dimiliki PT BRI Tbk (Persero). Menjelang triwulan II 2025, PT BRI Tbk (Persero) punya kekayaan berupa aset bernilai Rp2.098,22 triliun.
Total nilai aset itu lebih banyak 5,28 persen daripada realisasi hingga akhir 2024, yang nominalnya Rp1.992,98 triliun.
Lalu, apa yang menjadi biang keladi merosotnya perolehan laba bersih?
Kabarnya, terkoreksinya laba bersih disebabkan dropnya Net Interest Income (NII) atau pendapatan bunga bersih, yakni menjadi Rp35,85 triliun. Nominal ii lebih sedikit daripada perolehan NII periode akhir Maret 2024, yaitu Rp36,49 triliun.
Penyebab lainnya, yakni bertambahnya pencadangan dana sebagai upaya antisipasi terjadinya kerugian penyaluran kredit.
Pada akhir Maret 2025, nilai pencadangan berada pada level Rp81,57 triliun. Sedangkan periode sama 2024, angkanya Rp Rp80,89 triliun. (win/*)