PENTAS.TV-BANDUNG, Di banyak sekolah, suara riuh bocah menjelang pembagian rapor biasanya disambut rapi oleh ibu-ibu yang berbaris di teras kelas.Namun kedepan suasananya itu bisa saja berubah. Kursi-kursi yang biasanya jadi “wilayah ibu” kini dipenuhi figur berbeda lengan kekar, kemeja kerja yang masih beraroma kantor, dan tatapan gugup yang mencoba terlihat santai. Para ayah hadir. Dan bukan untuk seremoni.

Di sinilah Gerakan Ayah Mengambil Rapot Anak (GEMAR) memulai gaung barunya, menjadi babak baru dalam lanskap pengasuhan di Jawa Barat. Program ini lahir dari Surat Edaran Menteri Nomor 14/2025 dan kini disosialisasikan lewat sinergi Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) dan IPKB Jabar.

“Peran ayah tidak lagi berada di pinggiran. Gerakan ini mendorong keterlibatan ayah dalam pengasuhan memasuki babak baru di Jawa Barat,” ujar Dadi Ahmad Roswandi, Kepala Perwakilan Kemendukbangga/BKKBN Jabar, Jumat (12/12/2025).

Ia tidak sedang beretorika. GEMAR, katanya, bukan ritual tahunan yang dibingkai kamera lalu hilang bersama wangi parsel akhir tahun. “Ini bagian dari mengembalikan kehadiran ayah dalam kehidupan anak,” ujarnya. Ayah harus hadir dalam aktivitas sederhana—mengantar sekolah, mengerjakan PR bersama, hingga menata kesehatan mental yang kian rapuh di kalangan remaja.

Krisis Sunyi: 20 Persen Anak Hidup Tanpa Ayah Meski Serumah

UNICEF mencatat sebuah ironi besar dimana 1 dari 5 anak Indonesia mengalami fatherless meski tinggal satu atap. Figur ayah ada, tetapi hadir sebagai siluet. Komunikasi keluarganya merapuh, dan badai mental menyapu generasi muda.Sebanyak 33 persen remaja tercatat menghadapi stres, kecemasan, hingga rasa tidak aman. Dadi menyebut fenomena baru yang membuat banyak orang tua merinding: remaja staycation di apartemen tanpa pendampingan dewasa. “Kalau ayah tidak hadir, anak mencari figur lain, termasuk yang memberi pengaruh negatif,” katanya.

Data lain tak kalah suram. Hanya 37 persen anak Indonesia yang diasuh kedua orang tua secara penuh. Selebihnya tumbuh dalam keheningan rumah yang pincang.

Ayah sebagai Pagar Nilai

GEMAR dan GATI bergerak bukan sekadar mengajak ayah mengambil rapor, tetapi mengembalikan peran fundamental yang hilang: pagar nilai. Dadi menekankan pola pengasuhan kolaboratif sebagai benteng terakhir keluarga.

“Ayah dan ibu harus hadir bersama dengan kerja keras, ketulusan, dan kepedulian,” ujarnya. Lewat gerakan ini, keluarga diajak membangun kembali fondasi yang membuat anak bertumbuh sehat, aman, dan percaya diri.Dalam acara itu, BKKBN memberikan penghargaan kepada komunitas ayah teladan di Garut dan Bandung Barat—kelompok kecil yang membuktikan bahwa kehadiran ayah bukan utopia, tetapi pekerjaan sosial yang bisa dimulai hari ini.

Gerakan Publik yang Menentukan Masa Depan

GEMAR, GATI, dan program turunannya kini dirancang sebagai gerakan publik, bukan program instansi. Mereka ingin mengubah cara pandang masyarakat: bahwa pengasuhan bukan hanya “urusan ibu”.

Jika ayah kembali ke sekolah saat pembagian rapor, bukan hanya rapor yang dibawa pulang. Martabat pengasuhan ikut diperbaiki. Generasi yang nyaris hilang (lost generation) diberi peluang baru.Jawa Barat, lewat gerakan ayah ini, sedang menulis ulang peta masa depan keluarga—dengan pena yang selama ini tidak pernah benar-benar dipakai yaitu kehadiran seorang ayah. (GIH/*)