Bandung, Pentas – Peluang Indonesia keluar dari krisis pandemi Covid-19 masih dipertanyakan. Bila ukuran yang digunakan kesiapan fasilitas kesehatan, maka prognosanya kurang menguntungkan. Demikian disampaikan oleh Psikiater dr teddy Hidayat Sp KJ (K) dari Tim Pelaksana Kesehatan Mental (TPKJM) Jawa Barat, melalui rilis yang diterima pentas belum lama ini.
“Tetapi mudah-mudahan di lapangan tidak seburuk yang diduga. Covid-19 belum ada obat dan vaksin untuk pencegahannya, maka untuk mencegahnya melalui perubahan perilaku; menjaga jarak sosial, mencuci tangan dan menggunakan masker,” katanya.
Mencegah penularan yang paling tepat untuk orang Indonesia, menurut dr Teddy, saat ini adalah dengan penegakkan aturan secara tegas. Penegakan aturan secara tegas efektf merubah perilaku untuk waktu yang singkat. Besar kemungkinan upaya ini akan berhasil karena didukung oleh karakteristik positif orang Indonesia yaitu mempunyai hubungan kekeluargaan yang kuat untuk saling tolong menolong, patuh pada aturan, tahan mengadapi penderitaan dan setiap daerah mempunyai kearifan lokal. Kondisi ini perlu dimanfaatkan secara optimal dalam penanggulangan Covid-19.
“Covid-19 adalah penyakit yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 atau corona yang menyebar dari Wuhan ke seluruh benua. Semua orang mengalami kepanikan dan ketakutan yang luar biasa. Kepanikan dan ketakutan tersebut disebabkan karena ketidaksiapan menghadapi wabah, penyebarannya sangat cepat melalui droplet infection yang sulit dicegah dan dapat berakhir dengan kematian karena belum ada obat dan vaksin untuk pencegahannya,”paparnya.
Ia menambahkan, sampai tanggal 6 April 2020 jumlah kasus Covid-19 di Indonesia 2.491 orang, meninggal 209 orang sehingga angka kematiannya 8,3% atau dua kali lebih besar dari angka kematian dunia 3,4 %. Pemodelan berikut bertujuan untuk mengingatkan agar upaya pencegahan dilakukan lebih keras lagi, sehingga prediksi ini tidak terjadi.
“Data dan Simulasi COVID-19 dipandang dari Pendekatan Model Matematika yang dilakukan oleh Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung (ITB) memprediksi jumlah yang akan terinfeksi Covid-19 hingga pertengahan April akan melampaui angka 8.000 orang (permodelan Kurva Richard). Melalui berbagai pertimbangan psikososial dan kultural, Covid-19 diperkirakan mulai akan mereda pada bulan Juni 2020,” jelas dr Teddy.
Sementara itu data world health Organization (WHO) menempatkan kesiapan layanan kesehatan dalam menghadapi Covid-19 Indonesia, menduduki peringkat terendah jika dibandngkan dengan China, korea selatan, Singapora dan Malaysia. Indikator yang digunakan bed RS, bed ICU, jumlah dokter dan perawat serta anggaran kesehatan perkapita pertahun. “Dengan kondisi ini, tampaknya kita masih harus instrospeksi diri dibandingkan dengan Negara lain,”tegasnya.
Lebih lanjutdr teddy menambahkan, hubungan antara kesehatan mental dengan Covid-19 sangat erat dan saling mempengaruhi. Ia mencontohkan, seseorang dengan gangguan cemas mepunyai risiko yang lebih tinggi untuk tertular karena lebih sering menyentuh benda atau bagian tubuh seperti mulut, hidung atau mata yaitu tempat terjadi penularan.
“Hal ini semakin nyata bila disertai “psikosomatik” ; setelah mendengar atau membaca tentang Covid-19, tiba-tiba tenggorokan gatal dan nyeri, muka-hidung-mulut kesemutan dan merasa sedikit meriang meski jika diukur suhu tubuh normal Ini penyebabnya bukan tertular tetapi kecemasan yang biasanya dipicu oleh berita-berita yang kita dengar atau baca. Ketika krisis berlarut-larut dan isolasi tetap diberlakukan, banyak orang dihadapkan pada ketidakpastian, memicu kebosanan, kesepian, dan kemarahan. Semakin lama karantina, semakin buruk untuk kesehatan mental,” ,” pungkasnya.
Covid-19, menurut dr teddy, adalah bencana yang memberi dampak terhadap kondisi fisik dan mental masyarakat. Menurut dia, prevalensi 12 bulan beberapa gangguan mental pada bencana. ”Untuk gangguan jiwa berat atau psikotik sebelum bencana 2 – 3 % dan setelah bencana naik menjadi 3-4%. Untuk gangguan jiwa ringan sampai sedang sebelum bencana 10 % naik menjadi 15 %. Distres berat bukan gangguan jiwa 30– 50 % dan distres ringan sampai sedang 20 – 40 % yang akan hilang dengan seiring waktu,”katanya. (rls)