Rencana Rumah Subsidi 18m2 : IAI Menilai Pemerintah Kurang Peduli Terhadap Hak Masyarakat untuk Hidup Layak.

0
Forum diskusi bersama IAI terkait Polemik Rumah Subsidi 18m²

PENTAS TV –  Wancana Pembangunan rumah subsidi seluas 18 meter persegi menuai kritikan dari beberapa kalangan, termasuk para arsitek yang menilai pendekatan tersebut mengabaikan prinsip dasar kehidupan layak. Dalam diskusi publik bertajuk “Polemik Rumah Subsidi 18m²” yang digelar di Bandung, Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Georgius Budi Yulianto, mengingatkan bahwa hunian yang layak tidak cukup diukur dari terpenuhinya atap dan dinding. Rumah, menurutnya, memiliki fungsi sosial, psikologis, dan kesehatan yang krusial bagi penghuninya.

“Ketika ruang hidup sangat terbatas, dampaknya bukan hanya fisik, tetapi juga emosional dan sosial,” ungkap Georgius

Ia mengutip berbagai studi yang menyebutkan bahwa keterbatasan ruang bisa memicu stres berkepanjangan, mengganggu tumbuh kembang anak, hingga memperbesar risiko penularan penyakit menular seperti TBC, yang masih menjadi momok di Indonesia.

Meski kebijakan terbaru dari Kementerian PUPR menetapkan standar rumah subsidi minimal 21 meter persegi, IAI menilai ukuran ini tetap jauh dari ideal. Minimnya ruang disebut dapat mereduksi fungsi dasar rumah sebagai tempat tumbuh bersama keluarga. Anak kehilangan ruang belajar, sementara orang tua kehilangan ruang privat.

Lebih jauh, Georgius menyinggung soal kesenjangan dalam penguasaan lahan sebagai akar masalah keterbatasan ruang. Ia menegaskan bahwa isu kekurangan lahan lebih disebabkan oleh distribusi yang tidak merata ketimbang ketiadaan ruang fisik.

Georgius juga menjelaskan dari sisi teknis pembangunan, prototipe rumah subsidi yang sempat ditampilkan. Dijelaskan bahwa rumah dibangun menggunakan material lokal berbahan baja. Langkah ini dinilai sebagai upaya efisiensi dan pemanfaatan sumber daya lokal. Namun demikian, hal ini belum cukup menjawab pertanyaan terkait kenyamanan dan keberlanjutan jangka panjang.

“Struktur rumah memakai baja lokal, tiap rumah tidak rapat.  Ini justru seperti mengulang model rumah kampung tempo dulu,” ujarnya

Bagi IAI, konteks lokal dan budaya adalah pertimbangan penting. Standar nasional tidak bisa diterapkan seragam di semua daerah. “Rumah di Papua tidak bisa disamakan dengan rumah di Sumatera. Kita adalah negara kepulauan yang kaya akan keragaman budaya dan lingkungan. Arsitektur harus mencerminkan hal itu,” kata Georgius.

Menutup diskusi, IAI menekankan pentingnya kebijakan afirmatif. Setidaknya 30 persen dari area pemukiman di setiap wilayah perlu diprioritaskan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), agar perumahan tak menjadi sumber baru ketimpangan sosial.