PENTAS.TV – Di bawah rindangnya pohon-pohon dan semilir angin Bandung utara, puluhan anak-anak berseragam olahraga tampak asyik bermain bakiak. Di sudut lain, sekelompok siswa lainnya sibuk menuangkan cairan berwarna hijau ke dalam cetakan kecil berbentuk hati dan bunga.
Aroma khas daun segar menyeruak dari cairan itu, sabun herbal, yang mereka buat sendiri dari daun bunga matahari.
Itulah sebagian suasana dari program Eksplorasi Alam dan Tradisi yang diinisiasi oleh Kelompok Usaha Bersama (KUBE) di bawah pembinaan Yayasan Parahyangan Satya. Alih-alih belajar di balik meja dan papan tulis, anak-anak Sekolah Dasar kali ini diajak menyentuh langsung alam, mencium aroma tanah, dan menghidupkan kembali permainan tradisional yang perlahan tergeser oleh gim digital.
Mencetak Sabun, Membangun Kesadaran
Kegiatan utama mereka adalah membuat sabun herbal dari daun bunga matahari. Daun ini, menurut penjelasan para fasilitator, mengandung zat antiseptik alami. Tak hanya aman, sabun ini juga ramah lingkungan jauh dari bahan kimia yang biasa ditemukan di produk sabun industri.
Anak-anak tidak sekadar melihat, tetapi melibatkan diri dalam setiap tahap: dari menghaluskan daun, mencampurnya dengan bahan dasar, hingga menuangkannya ke dalam cetakan. “Kami ingin anak-anak belajar tidak hanya dari buku, tapi dari pengalaman langsung,” kata Ningsih Sunengsih, Ketua KUBE.
Di mata Ningsih, kegiatan ini bukan sekadar edukasi alam. Ini adalah bentuk pembentukan karakter: mengenalkan anak-anak pada proses, kerja sama, serta dampak dari setiap tindakan terhadap lingkungan.
Permainan yang Hampir Dilupakan
Di sisi lain, permainan tradisional menjadi sesi yang tak kalah penting. Bakiak, permainan kayu panjang dengan beberapa tali untuk kaki, dimainkan bersama dalam tim. Anak-anak yang baru pertama kali melihatnya tertawa, jatuh, dan belajar menyelaraskan langkah.
“Permainan ini mengajarkan koordinasi, komunikasi, dan yang terpenting: kebersamaan,” ujar Hilman, penanggung jawab dari SDIT Luqmanul Hakim, salah satu sekolah peserta. Ia menambahkan, “Kami ingin anak-anak tidak hanya belajar teori di kelas, tetapi juga mengalami langsung nilai-nilai budaya dan sosial yang mulai ditinggalkan.”
Pembelajaran Kontekstual yang Diperlukan Zaman
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kegiatan luar kelas seperti ini mampu meningkatkan motivasi belajar hingga 75 persen.
Bukan angka kosong, saat menyaksikan prosesnya, senyum anak-anak, sorak saat menang lomba bakiak, dan antusiasme saat sabun berhasil mengeras menjadi bukti konkret bagaimana pembelajaran bisa menjadi pengalaman.
Respons orang tua pun positif. Mereka melihat perubahan: anak-anak jadi lebih komunikatif, lebih peduli lingkungan, dan lebih mengenal tradisi lokal. KUBE, dalam hal ini, seolah menjadi ruang antara sekolah dan rumah yang menjembatani nilai-nilai lama ke dalam dunia baru yang serba digital.
KUBE berencana mengadakan program serupa secara rutin. Tidak hanya untuk sekolah mitra, tapi terbuka untuk siapa pun yang ingin melihat bahwa belajar tak melulu harus di dalam kelas.