Bandung, Pentas TV – Daluang boleh disebut sebagai kertas tradisional atau kertas Jawa. Terbuat dari serat kayu paper mulberry (Broussonetia papyryfera Vent) atau dikenal dengan sebutan pohon saeh di tanah Sunda. Di Nusantara dan dunia, daluang dikenal sebagai media penulisan naskah kuno karena seratnya paling kuat dibanding serat lainnya.

Dahulu, daluang digunakan sebagai media naskah kuno dan seni wayang beber. Bukti keberadaan daluang dapat ditemukan pada naskah kuno Kakawin Ramayana yang berasal dari abad ke-9. Dalam naskah itu disebutkan daluang digunakan sebagai bahan pakaian pandita (sebutan untuk orang yang bijaksana).
Lalu, pada abad ke-18, daluang dipergunakan bukan hanya sebagai pakaian pandita, tetapi juga kertas suci, ketu (mahkota penutup kepala), dan pakaian untuk menjauhkan dari ikatan duniawi. Sampai akhirnya datangnya Islam di Nusantara, daluang digunakan sebagai bahan wayang beber, salah satu jenis wayang di Jawa yang memanfaatkan lembaran atau gulungan daluang untuk merekam kisahan atau cerita pewayangan dalam bentuk bahasa gambar.

Dalam bidang tradisi tulis keagamaan, berdasarkan temuan Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran (LPMQ), Balitbang-Diklat Kementerian Agama (Kemenag), juga disebutkan banyak mushaf Alquran di Nusantara yang ditulis dengan daluang dan kertas Eropa. Mushaf Alquran tertua temuan LPMQ juga terbuat dari kulit kayu daluang.

Peneliti LPMQ, Ali Akbar, mengatakan mushaf Alquran paling tua yang pernah ditemukan ada di Bali. Mushaf Alquran tersebut berasal dari tahun 1625 Masehi, terbuat dari daluang yang sangat halus seperti kertas.
LPMQ sampai saat ini telah menemukan lima mushaf Alquran dari abad ke-17, kemudian 25 mushaf Alquran dari abad ke-18, dan seribu lebih mushaf Alquran dari abad ke-1. Selanjutnya daluang digunakan dalam berbagai tradisi tulis di Indonesia, mulai dari tradisi pesantren sampai dengan pemanfaatan untuk keperluan administrasi di zaman kolonial hingga awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Daluang sebagai bagian dari tradisi tulis di Indonesia diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14 Masehi. Hal ini tertuang pada naskah Undang-Undang Tanjung Tanah di Gunung Kerinci yang diteliti oleh Dr Uli Kozok dari Hawaiian University pada 2003. Adapun dalam khazanah naskah Sunda dapat ditelusuri melalui naskah Sunda kuno dari abad ke-18 koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.