
Jejak terdahulu keilmuan seni tentunya didasari oleh ilmu yang telah ada sebelumnya. Banyak yang tidak tahu bahwa keberlanjutan ilmu seperti karya seni hadir karena ada pendahulu yang memberikan pemahaman dan jejak langkah untuk berlanjut kepada langkah berikutnya.
Adalah Sadali salah satu tokoh karya seni lukis abstrak telah berjasa menorehkan tonggak pemahaman perihal seni dan spiritualitas. Digabung menjadi satu pemahaman keilmuan yang bisa membawa pencerahan dan langkah seni berikutnya.
Sebagai bagian dari rangkaian Pameran Seabad Sadali, Selasar Sunaryo Art Space (SSASI menyelenggarakan peluncuran dan diskusi buku Dzikir dan Pikir Sadali karya terbaru dari akademisi seni rupa, Yustiono.
Buku Ini merupakan pengembangan dari disertasi doktoralnya yang berjudul interpretasi Karya Ahmad Sadali dalam Konteks Modernitas dan Spintualsme islam dengan Pandekatan Hermeneutik (FSRD ITB, 2005) yang telah dikerjakannya selama tiga tahun terakhir.
Ahmad Sadali, lahir di Garut pada 29 Juli 1924 dan wafat di Bandung pada 19 September 1987, dikenal sebagai pelukis, akademis, cendekiawan, pendakwah, serta aktivis organisasi keislaman.
la merupakan salah satu mahasiswa generasi awal Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar Fakultas Teknik di Bandung (1948-1953), yang kini menjadi Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Sebagai tokoh penting dalam sejarah seni rupa Indonesia, Sadali memiliki kontribusi besar dalam mengembangkan pendekatan estetika yang memadukan kemodernan dan spiritualitas Islam.
Pameran Seabad Sadali Menjejak Bumi Menembus Langit yang telah berlangsung sejak 19 September 2024 di SSAS, menjadi panggung utama dalam memperingati warisan intelektual dan artistik Sadali.
Judul pameran tersebut juga dirumuskan oleh Yustiono untuk menandai puncak pencapaian Sadali dalam dunia seni, spiritualitas, dan pemikiran.
“Melalui buku Dzikir dan Pikir Sadali, saya memetakan empat konteks utama dalam pemikiran dan karya Sadali: Konteks Kepribadian, Konteks Modernitas, Konteks Spiritualitas Islam, serta Rekontekstualisasi Modernitas dan Spiritualitas Islam. Dari keempat kerangka ini, tersusun argumentasi bahwa Sadali merupakan figur yang berhasil memadukan prinsip-prinsip kemodernan seni rupa dengan kedalaman spiritualitas Islam dalam konteks keindonesiaan,” ujar Yustiono, penulis buku, Dzikir dan Pikir Sadali, di Bale Tonggoh SSAS, Jumat (11/04/2025).
“Peluncuran buku ini juga diiringi oleh diskusi terbuka yang membahas berbagai wacana seputar seni rupa, modernitas keislaman, dan spiritualitas di Indonesia. Dalam diskusi ini akan diawali dengan pemaparan isi buku kemudian, disusul tanggapan dari dua narasumber: Bambang Q-Anees profesor di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Jim Supangkat, kuratór Independen serta kritikus seni rupa terkemuka,”terang sang penulis buku.
Yustiono menerangkan bahwa dalam diskusi ini agar semakin lengkap akan dimoderatori oleh Agung Hujatnikajennong, kurator seni rupa dan pengajar FSRD ITB yang juga merupakan pengawas Yayasan Selasar Sunaryo.
Menurut penuturan penulis, acara ini menjadi salah satu titik penting dalam merayakan seabad kelahiran Ahmad Sadali, tokoh yang menjejak bumi melalui karya dan menembus langit lewat pemikiran dan spiritualitasnya.
“Menulis buku monografi itu dalam artian buku seperti yang Pak Yustiono lakukan contohnya. Artinya, tidak membutuhkan buku lain lagi karena buku tersebut sudah menjelaskan secara keseluruhan,” kata Jim.
“Kalau mau menuliskan seniman-seniman itu harus menuliskan latar belakangnya dan kalau kita mengatakan bahwa latar belakang Sadali itu adalah seni rupa modern Indonesia akan menjadi bingung. Karena di dunia, orang akan bertanya, seni rupa modern Indonesia itu apa dan sejarahnya seperti apa?,” terang Jim.
Kurator Independen pun menerangkan bahwa suatu kenyataan yang disepakati oleh dirinya dan Yustiono adalah Ketika mau menuliskan apapun mengenai seni rupa Indonesia di luar dunia barat harus memberikan latar belakang yang kompleks. Sementara, kompleks itu akan membuat “malas” karena terlalu banyak yang diterangkan sementara jika tidak banyak/komplek tidak akan dipahami di dunia internasional.
“Akan tetapi, buku yang ditulis oleh Yustiono ini menunjukkan bahwa penulisan latar belakang yang kompleks itu harus dibuat, mau tidak mau. Dan ini muncul di buku Yustiono secara baik,” terang eskponen Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB).
Sedikit berbeda apa yang dituturkan oleh Bambang Q-Anees yang akrab dipanggil BQ dalam paparan diskusi yang hangat perihal buku Yustiono. Dirinya merasa “berdosa” karena pembahasan perihal seni dan Islam itu tidak dibicarakan di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati tempatnya berbagi pengetahuan.
Ia sangat berterimakasih kepada keluarga Sadali yang memberinya kesempatan untuk mengenal karya Sadali di Selasar dan ternyata Sadali telah membicarakan perihal seni dan Islam itu di tahun 1960, 1970, 1980 yang saat itu pemikir muslim tidak ada yang membicarakan perihal seni dan Islam.
“Salah satu yang menarik misalnya, Pak Sadali dengan berani mengatakan bahwa ada ibadah mahdoh, yaitu sholat, zakat, puasa, haji dimana ibadah tersebut memakan 10-20% dari lingkaran kehidupan manusia. Dan sisanya itu ada ibadah muamalah dimana muamalah itu artinya berkebudayaan berkesenian. Jadi, melukis itu adalah ibadah berkesenian,” ungkap BQ.
“Dan berkesenian ini diungkapkannya merupakan bagian ibadah Dimana hal ini diungkapkannya di tahun 1970 atau 1980 pada saat dunia islam, pemikiran muslim di kampus kami tidak membicarakan itu, tentu saja karena kita mempunyai kecenderungan membicarakan Islam dalam kerangka kekuasaan, misalnya negara Islam, politik Islam, ekonomi Islam,” tukas BQ